Hukum untuk Mengukur Tabiat
3 Maret 2022
HUKUM UNTUK MENGUKUR TABIAT
“Karena bukanlah orang yang mendengar hukum yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukumlah yang akan dibenarkan.” Roma 2:13.
“Allah telah memberikan hukum-Nya yang kudus kepada manusia sebagai standar tabiat-Nya. Dengan hukum ini engkau dapat melihat dan mengatasi setiap cacat dalam tabiatmu. Engkau dapat memisahkan diri dari setiap berhala, dan menghubungkan dirimu dengan takhta Allah dengan rantai emas kasih karunia dan kebenaran.
“Hukum moral tidak pernah menjadi sekedar lambang atau bayangan. Hukum itu telah ada sebelum penciptaan manusia, dan akan tetap ada selama takhta Allah masih ada. Allah tidak akan mengubah atau membatalkan satupun ajaran hukum-Nya meskipun untuk menyelamatkan manusia; karena hukum adalah dasar pemerintahan-Nya. Itu tidak akan berubah, dan tidak tergantikan, tidak terbatas, dan kekal. Agar manusia dapat diselamatkan, dan demi kehormatan hukum yang harus dipertahankan, Anak Allah perlu mempersembahkan diri-Nya sebagai korban untuk dosa. Dia yang tidak mengenal dosa telah dijadikan berdosa demi kita, bahkan telah mati bagi kita di Kalvari. Kematian-Nya menyatakan kasih Allah yang luar biasa bagi manusia, dan menyatakan hukum-Nya yang tidak berubah…” – God’s Amazing Grace, hal. 80.
“Tuhan memanggil semua orang yang mengaku sebagai orang Kristen untuk meninggikan standar kebenaran, dan menyucikan diri mereka menjadi sama seperti Dia yang adalah murni….
“Pertanyaannya adalah, Akankah kita menjadi orang Kristen yang Alkitabiah? Akankah kita mengabaikan petunjuk paling sederhana yang diberikan kepada kita dalam Firman Kehidupan, dan menegakkan standar palsu untuk mengukurkan tabiat kita? Apakah ini hal yang aman untuk kita lakukan? Ketika engkau menyerah pada godaan musuh, dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang Tuhan perintahkan untuk engkau lakukan, dan kemudian memaafkan dirimu sendiri, dengan mengatakan bahwa engkau tidak bermaksud jahat, bahwa engkau tidak melakukan kesalahan moral, maka apakah yang bisa menjadi standar kesalehan dan kesucianmu?” –Testimonies on Sexual Behavior, Adultery, and Divorce, hal. 146.